“Tak kenal maka tak sayang” ungkapan
yang begitu familiar di telinga masyarakat Indonesia. Sejatinya mengenal
individu, kelompok, negara, atau apapun itu adalah salah satu bentuk untuk
mengerti persoalan mereka. Di Indonesia ada berbagai persoalan yang dihadapi
oleh berbagai elemen masyarakat. Salah satunya adalah permasalahan kronis dan
menahun yang tengah dihadapi pekerja rumahan. Sayangnya sebagian besar
masyarakat masih belum mengenal pekerja rumahan. Bagaimana persoalan yang
dihadapi mereka, dan apa wujud ketidak adilan yang terjadi pada mereka. Bahkan,
sebagian pekerja rumahan masih ada belum sadar atas bentuk diskriminasi yang dilakukan
perusahaan terhadap mereka. Dari banyaknya problematika yang tengah dihadapi
pekerja rumahan, tidak mengherankan jika sebagian masyarakat mulai melakukan
gerakan pemberdayaan. Sebagai contoh gerakan MAMPU ILO. Sebuah proyek yang
didanai langsung oleh pemerintah Australia untuk memberikan edukasi dan pemberdayaan
kepada pekerja rumahan.
Siapa Pekerja Rumahan?
Amin Muftiyana, Direktur eksekutif YASANTI
menjelaskan bahwa pekerja rumahan adalah seseorang yang bekerja pada perusahaan,
dimana pekerjaannya dilakukan di rumah berdasarkan perjanjian rumah dengan upah
dan ganji yang ditetapkan oleh pihak perusahaan. Senada dengan itu, ILO
mendefinisikan pekerja rumahan sebagai seseorang yang mengerjakan pekerjaan
didalam rumahnya atau ditempat lain pilihannya, selain tempat kerja pemberi
kerja; untuk mendapatkan upah yang menghasilkan suatu produk atau jasa
sebagaimana yang ditetapkan oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang
menyediakan peralatan, bahan atau input yang digunakan (ILO,1996, No. 177).
Pekerja rumahan umumnya menerima gaji bulanan
atas setiap produk yang telah mereka rampungkan setiap harinya. Dengan begitu
semakin banyak produk yang telah mereka hasilkan maka gaji bulanan yang mereka
terima juga semakin besar. Seperti contoh, ibu Zamzanah dari
Ngampilan-Yogyakarta. Beliau adalah pekerja rumahan dari industri garmen. Dia bekerja membuat lubang kancing dan
menjahit kancing di rumahnya. Ibu
Zamzanah dibayar Rp. 200 untuk setiap lubang kancing yang dia buat dan Rp. 450
untuk pemasangan kancing. Maka jika diakumulasikan penghasilan ibu Zamzanah
selama sebulan berkisar 1 Juta rupiah.
Dalam realitasnya, pekerja rumahan biasanya
dilakukan oleh para perempuan (ibu rumah tangga). Beberapa kasus juga
menyebutkan pekerja rumahan turut melibatkan anggota keluarga yang lain seperti
anak-anak, menantu dan suami. Adapun mengenai motif seseorang melakukan
pekerjaan rumahan biasanya untuk mendapatkan penghasilan sampingan selain dari
pengahasilan yang didapatkan suami. Ada juga kasus pekerja rumahan yang
menjadikan pekerjaannya sebagai pengahasilan utama. Biasanya hal ini terjadi
jika dia menjadi singel parent seperti jika pekerja rumahan dicerai atau
ditinggal mati oleh suaminya.
Secara substansi, pekerja rumahan seharusnya dapat
dikategorikan sebagai buruh pabrik. Namun sayang, karena tidak adanya
undang-undang yang mengatur secara eksplisit pekerja rumahan maka status
kontrak kerja mereka dengan perusahaan dianggap informal. Sehingga hak-hak
mereka rawan sekali disalang gunakan oleh perusahaan. Dari pemaparan diatas,
setidaknya ada 2 karakteristik seseorang disebut pekerja rumahan. Pertama, tempat
dia bekerja bukan di pabrik, bisa di rumah atau tempat lainnya. Kedua,
hubungan antara pekerja rumahan dengan majikan tidak terikat kontrak resmi. Hubungannya
hanya sebatas jumlah produk, upah dan
waktu penyerahan barang. Dengan begitu pekerja rumahan tidak memiliki wewenang
untuk menentukan pemakaian dan pemasaran dari perusahaan.
Ketidak Adilan
Sebelum
membahas permasalahan yang dihadapi oleh pekerja rumahan, ada baiknya terlebih
dahulu memetakan bagaimana karakteristik masyarakat yang melakukan pekerjaan
rumahaan. Dari data yang diperoleh
ILO/MAMPU yang bekerja sama dengan Badan Pusat Statistika Indonesia ditemukan
bahwa para pekerja rumahan cenderung berpendidikan rendah. Selain itu hampir
semua dari pekerja rumahan tidak memiliki kontrak resmi dengan perusahaan dan
47% dari mereka menggunakan perjanjian lisan. Hasil penelitian ini setelah
mewancari 3.010 pekerja rumahan dari 297 desa di enam provinsi. Dari sini dapat
diambil kesimpulan bahwa akar problem yang dihadapi oleh pekerja rumahan adalah
tidak adanya kontrak kerja resmi dari perusahaan. Sehingga hak-hak mereka
rentan untuk dimarginalkan atau diindahkan sama sekali. Setidaknya ada 2 ketidak
adilan besar yang diterima oleh para pekerja rumahan.
Pertama,
tidak menerima gaji yang sesuai dengan upah minimum rakyat (UMR). Seperti yang
sudah disebutkan diatas, gaji pekerja rumahaan ditentukan oleh kuantitas produk
yang dihasilkannya. Bahkan menurut data dari ILO selisih pendapatan antara
pekerja rumahan cenderung kurang 50 % dari gaji karyawan biasa. Hal ini
diperparah lagi, dengan kenyataan alat produksi seperti listrik, dan peralatan
kerja tidak ditanggung perusahaan. Dengan begitu beban biaya sepenuhnya
ditanggung oleh pekerja rumahan.
Selain
itu pekerja rumahan sering kali harus menanggung ganti rugi jika produknya
rusak atau tidak sesuai pesanan. Padahal rata-rata pelaku pekerja rumahan
berekonomi rendah. Hal ini nyaris tidak diketahui oleh para pekerja rumahan
ketika melakukan kontrak kerja secara informal. Ketidak adilan lainnya, para
pekerja rumahan tidak mendapatkan THR ketika hari raya. Jika seandainya
pekerjaan rumah diatur oleh undang-undang nasional maka peraturan Kemnaker No
20 tahun 2016 tentang THR dapat diberlakukan pada pekerja rumahan.
Kedua,
tidak adanya jaminan sosial dari perusahaan (Jamsostek). Tidak seperti karyawan
biasa, pekerja rumahan tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja
dari perusahaan. Padahal pekerja rumahan lebih rentan terjadi kecelakaan. Hal ini
dikarenakan pekerja rumahan tidak diberikan peralatan kerja yang safely.
Seperti yang diuangkapkan Nur Ida Iriani dan HS. Lilik Wiyanto, pekerja rumahan
yang berinteraksi dengan bahan kimia lebih berpotensi terpapar bahan berbahaya
dari pada karyawan biasa. Tidak saja bahan kimia, pekerjaan rumahan lainnya seperti
manufaktur, garmen juga lebih berpotensi terjadi kecelakaan kerja dari karyawan
biasa.
Pekerjaan
rumahan sering kali dijadikan ajang untuk eksploitasi oleh para pengusaha. Para
pekerja rumahan tidak saja dijerat oleh segala aktifitas produksi yang
merugikannya, baik dari segi jam kerja, tempat kerja yang terbatas dan kompensasi
yang dibawah standar, akan tetapi mereka juga terancam oleh berbagai resiko pekerjaan.
Selain itu, sistem pekerjaan yang tidak memberikan jaminan kesehatan,
kecelakaan kerja, upah minimum dan THR menjadikan pekerjaan rumahan menjadi
sangat tidak manusiawi. Pemerintah seharusnya bisa merespon isu-isu pekerjaan
rumahan ini dengan menerbitkan undang-undang yang mengatur pekerjaan rumahan, sehingga
dengan begitu hak-hak mereka dapat dijaga dan dijamin oleh pemerintah.
Referensi
Nur Ida Iriani, HS. Lilik Wiyanto, “Pemberdayaan
kelompok Pekerja Rumahan Melalui Pembinaan Kewirausahaan Dalam Upaya Mengentas Kemiskinan”
dalam JISIP, Vol. 5, No. 3, 2016.