![]() |
Sumber: korpusipb.com |
Bumi masih menyisakan gelap dan asrama mahasiswa masih dengan kesunyiannya. Sayup-sayup setelah salat subuh terdengar suara seseorang yang sedang memulai pengajiannya. Dikalangan mahasiswa, pria itu biasa di panggil ustaz Hamid. Siapa dia? Jika kalian tidak mengenal orang tersebut mungkin kalian bisa mengenal pesantren modern Gontor. Ya, pria itu adalah satu guru pengajar disana. Tepatnya di Jl. Raya Siman Km. 6, Siman-Ponorogo, Universitas Darussalam Gontor. Ayahnya adalah KH. Imam Zarkasyi, salah satu dari tiga pendiri pesantren Gontor.
Dikalangan mahasiswa Gontor, ustaz Hamid adalah primadonanya. Perjalanan hidupnya banyak memberi insprasi bagi para mahasiswa. Bagaimana tidak, pendidikannya penuh dengan lika-liku. Selain karena beliau adalah putra dari seorang kiai besar, beliau dengan usahanya sendiri telah berhasil mendapatkan pengakuan dari dalam negeri maupun luar negeri. Belum lagi sumbangsihnya
pada pesantren dan universitas Gontor.
Perjalanan Keilmuannya
pencarian jati dirinya dimulai dengan menamatkan Kulliyah Muallimin Islamiyah (KMI). Disini dia dididik dengan ilmu-ilmu keagamaan. Tidak hanya itu, beliau juga belajar ilmu-ilmu umum untuk menjadi bekal kehidupannya kelak. Selama 6 tahun hamid kecil menjalani masa-masa pendidikan KMI sampai selesai.
Setelah lulus Hamid kecil kemudian melanjutkan studinya di ISID Gontor. Kampus yang akan menjadi tempat perjuangannya kelak. Di kampus ini beliau mengambil jurusan pendidikan agama Islam. beliau selesaikan masa kuliahnya selama 4 tahun seperti lumrahnya para mahasiswa. Akan tetapi dahaga keilmuannya masih terlalu besar. Akhirnya beliau melanjutkan studi s2-nya di University of Punjab, Lahore (1986) dengan jurusan yang sama.
Ketika di Lahore hatinya mulai terpincut dengan bidang keilmuan lain. Entah mengapa ustaz Hamid mulai tertarik dengan bidang pemikiran Islam. Akhirnya setelah menamatkan s2-nya di India, kemudian beliau mulai mencari beasiswa s2 lagi di Inggris. Yang akhirnya beliau berhasil menjadi mahasiswa di Universty of Brimingham United Kindom (1998).
Lika-liku Hatinya
Salah satu cerita yang paling saya ingat tentang beliau adalah ketika dia mengalami masa-masa kehilangan ketenangan batinnya. Selama studinya di Inggris Hamid Fahmy terombang-ambing antara keyakinannya dengan realitas yang dia temukan di Barat. Identitas keislaman yang dia dapatkan selama di pesantren mulai dipertanyakan kembali.
Sebagai seorang perantau dari negeri berkembang wajar jika dia merasa terpukau dengan majunya peradaban Barat. Beliau mulai terlena dengan kemajuan negara-negara Barat. Sedikit demi sedikit ustaz Hamid mulai menyukai gaya hidup orang Barat. Terlebih jika mengenai persoalan keagamaan. Tak ayal jika beliau sendiri pernah mengaku menjadi orang liberal di Barat.
Suatu ketika beliau menemukan sebuah buku karya dari Syed Naquib Alattas (pendiri ISTAC). Entah, waktu itu saya tidak berani bertanya tentang judul bukunya. Tapi yang pasti buku itu telah mengubah sikap dan pandangan keislamannya selama di Inggris. Tidak sampai disitu ia kemudia mencari tahu siapa penulisnya dan dimana dia hidup. Membaca berbagai karya-karyanya dan Tak ayal studinya ke Malaysia adalah semata untuk berguru kepada Syed naquib. Dimata para pujangga, Hamid muda seperti Laila
yang jatuh cinta pada Qais. Jika Laila mengenal sang Qais dari surat-suratnya begitupun Hamid muda, ia mengenal Syed Naquib dari karyanya.
Tidak cukup sampai disitu, beliau kemudian mengikuti kata hatinya untuk melanjutkan studi s3-nya di Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) dalam bidang yang sama. Disana beliau beguru langsung kepada penulis buku tersebut. Yang ternyata dia adalah salah satu tokoh pemikiran Islam yang konsisten mengcounter pemikiran Barat. Begitulah kisah hidup seorang Hamid Fahmy Zarkasyi.
Komitmen Perjuangan
![]() |
Sumber: imagologi.com |
Cerita lainnya yang pernah saya dengar, pernah suatu ketika beliau bercerita tentang kekesalan teman-temannya sewaktu di Inggris. Mereka menyayangkan perubahan yang terjadi pada diri ustaz Hamid. Tidak seperti di Inggris yang menyukai pemikiran-pemikiran Orientalis, sekarang dia malah mengkritiknya habis-habisan. Bahkan salah satu dosennya pernah menyinggungnya “dia (gus Hamid) kacang yang lupa pada kulitnya”. Tetapi dengan tenang beliau membalas sindiran tersebut, “ya, saya kacang yang lupa pada kulitnya, tapi anda adalah kulit yang lupa pada Tuhannya”.
Tulisan saya yang dimuat di koran kampus IPB. Silahkan dilihat disini