“perjuanganku lebih muda karena mengusir penjajah, perjalanmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” (Soekarno).
Kira-kira
begitulah kata bijak yang pernah dilontarkan presiden pertama Indonesia. Jika
kita hayati kalimat pertama sebenarnya adalah sejarah dan yang kedua adalah
ramalan. Benar, ramalan bisa salah atau mungkin benar. Ia bukan ayat-ayat Tuhan
yang dianggap benar. Tapi perlu diketahui disetiap ramalan disitu tersembunyi
kecemasan dan harapan. Kecemasan terhadap
runtuhnya nilai-nilai yang telah diperjuangkan dan harapan bahwa nilai
itu akan selalu ada, begitu kira-kira yang penulis pahami.
Sebuah peradaban besar pasti memiliki karakteristik dari
nilai-nilai yang diturunkan pada generasi selanjutnya. Nilai-nilai itu dalam
perjalanannya akan berevolusi menjadi sebuah konsep-konsep, dan kemudian
menjadi sebuah paradigma (worldview) bagi masyarakat (Hamid Fahmy,
2013). Jika Indonesia menginginkan menjadi sebuah bangsa yang besar maka
nilai-nilai kebudayaan seharusnya selalu ditransfer secara kontinu. Sayangnya
penulis tidak bisa melihat hal itu, apalagi ditengah arus globalisasi informasi
pada hari ini. Sebagian besar pemuda Indonesia seakan kehilangan nilai yang
seharusnya dipegangnya. Mereka akhirnya tidak ubahnya seperti pemuda dari peradaban
lain. Dalam artian nilai-nilai yang mereka pegang bukan berasal dari kultur
Indonesia.
Jika kita menginginkan Indonesia menjadi sebuah peradaban besar
maka nilai-nilai tersebut harus dikonsepkan dengan matang. Selain itu pemuda
sebagai pewaris juga harus ikut berkontribusi dalam perumusan dan pengembangnya.
Karena nilai-nilai itu yang nantinya akan selalu dibawa oleh masyarakat.
Nilai-nilai itu kemudian akan menjadi karakteristik dari corak pandangan yang
akan dibawanya sampai ada nilai-nilai baru yang menggantikannya (Mas'oed, 1990) , entah itu didalam
kehidupan sosialnya, akademisinya maupun ketika sedang melakukan sebuah
penelitian.
Dalam sejarah manusia, peradaban besar selalu dimulai dengan
kemajuan didalam ilmu pengetahuannya. Kemajuan ilmu pengetahuan ini diperoleh
dengan take and give, yakni sebuah peradaban memperoleh pengetahuannya
dari peradaban lain yang lebih besar (Hamid Fahmy, 2006). Akan tetap seperti
kata Syed Naquib Alattas ilmu pengetahuan tidak bebas dari nilai (Naquib,
2001). Maka setiap peradaban selalu berusaha meyaring pengetahuan dari
peradaban lain. No Science has ever been integrated into any civilization
without some of it also being rejected (Syed Hossen Nasr).
Oleh karena itu mengintegrasikan antara nilai-nilai dari
kultur/budaya Indonesia dengan sains modern perlu dilakukan. Sebagaimana yang
kita tahu, setiap pengetahuan modern selalu dimulai dengan penelitian. Dan
setiap penelitian sebagaimana menurut para ahli haruslah objektif. Tetapi perlu
juga diketahui bahwa penelitian ilmiah berangkat dari asumsi-asumsi dasar yang
diyakini oleh penelitinya. Biasanya asumsi-asumsi dasar seorang peneliti adalah
pandangan para peneliti tentang realitas dunia ini. Asumsi-asumsi dasar ini
adalah komplikasi dari nilai-nilai yang dipegang oleh peneliti. sehingga nilai
yang telah disebutkan diatas juga turut mempengaruhi jalan penelitian.
Jika nilai-nilai ini selalu dibawa oleh para cendekiwan, ilmuan
maupun peneliti di Indonesia tentu akan sangat baik. Tapi sayangnya realita
yang terjadi adalah sebaliknya. Terkadang para cendekiawan tersebut terseret
pada pandangan dunia (worldview) bangsa lain. Misalnya sebagian
cendekiawan tersebut memiliki worldview yang pro sekulerisasi, atau
bahkan berbau agnostic dan ateistik. Oleh karena itu diperlukan suatu wacana
nasional dimana pokok pembahasannya adalah mengintegrasikan nilai-nilai
Indonesia dengan sains modern.
Bagi penulis, langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh para pemuda/I
untuk mensukseskan grand discourse ini adalah: Pertama, dengan
cara merumuskan nilai-nilai asli yang dimiliki Indonesia, baik diambil dari
pemikiran-pemikiran pendiri bangsa atau yang terkandung dalam kebudayaan kita
yang majemuk. Output dari proses ini adalah membangun paradigma yang kuat, kompherensif
dan diterima oleh semua rakyat Indonesia. Sehingga dengan paradigma ini menjadi
batu pijakan para intelektual muda negeri dalam proses pengembangan
keilmuannya. Kedua, berkolaborasi dengan pemerintah untuk memberikan
sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat, baik kepada masyarakat
intelektual atau bawah. Ketiga, mencoba untuk mengintegrasikan
nilai-nilai tersebut kedalam sains. Hal ini tentu dilakukan oleh para ilmuan
dan intelektual yang memiliki otoritas dibidangnya masing-masing. Oleh karena
itu para pemuda diharapkan menjadi memiliki otoritas dalam bidang yang
ditekuninya masing-masing. Pengintegrasian ini tidak hanya berkutat didalam
wilayah permukaan, tetapi juga harus masuk didalam paradigma (asumsi dasar)
dalam semua ilmu pengetahuan. Misalnya, para ilmuan selain menganalisa,
merumuskan dan memakai suatu teori yang bisa mengintegrasikan nilai-nilai
Indonesia dan suatu bidang sains yang dikuasainya, ia juga dituntut untuk
mengkonsepkan dan memakai suatu
paradigma (worldview) yang khas Indonesia. Sehingga cendekiawan,
ilmuan dan peneliti selanjutnya bisa memakai worldview dan teori-teori
yang dibuat oleh pendahulunya.
Keempat, Teori-teori
yang tercipta dari hasil pengintegrasian ini tentunya harus terbuka untuk
difalsifikasi. Karena ciri dari ilmu pengetahuan memang tidak terbatas (unlimited)
dan terus berkembang sedangkan suatu teori terbatas pada suatu masa dan konteks
dimana peneliti ini menemukannya sampai peneliti lain mengoreksinya. Dan hasil
yang harus dicapai dari proses integrasi ini adalah harapan munculnya suatu
corak dalam ilmu pengetahuan yang khas Indonesia. Atau bisa saja lahirnya suatu
sains dari Rahim Indonesia. Tentu ini memerlukan waktu yang sangat panjang,
bahkan bisa jadi berabad-abad. Dan bisa jadi mendapat penolakan dari berbagai
elemen, khususnya dalam kancah internasional. Akan tetapi sebagaimana kata Gus
Dur: “Kalau ingin melakukan perubahan jangan tunduk pada kenyataan, asal
yakin di jalan yang benar”.